9 pelukis menyatukan rasa dalam satu konsep. Imajinasi mereka berbuih seperti ikan-ikan yang bertelur di antara sekumpulan enceng gondok. Sungai-sungai mereka menjadi jemari yang lentik dan berdenyut. Sungai Komering, Lematang, Ogan, Lakitan, Batanghari Leko, Rawas, Sumanggus, menusuk-nusuk Sungai Musi menuju ke Sungsang. Menyentak pula ke Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, dan berenang melewati selat Sunda menuju ke Jambi, Lampung, dan Bengkulu. Lalu tangan mereka menyeberang ke Pagaralam, menghadap ke Gunung Dempo. Lalu menuju ke Pasemah 4000 tahun lalu. Garisnya naik turun menjadi segitiga. Inilah Kita, Indonesia, Alam, dan Tuhan.
“Lukisan apa ini?” kata saya.
“Lukisan berjudul Batanghari Sembilan, ini merupakan simbol dari keberagaman nusantara,” kata penggagas lukisan, Erwan Suryanegara.
“Apa yang menariknya dari lukisan ini?”
Erwan membawa matanya menangkap lukisan itu.
“Kerja kreatif perupa biasanya sangat individualistik dan sulit untuk digabungkan, namun setelah melihat hasilnya ternyata bisa dilakukan. Yah, menariknya karena dalam proses pembuatannya dikerjakan bersama-sama. Inilah yang unik dari lukisan itu.”
“Yang berwarna kuning di tengah-tengah lukisan itu, saya tahu, itu huruf ka-ga-nga!”
“Iya, itu huruf ka-ga-nga,” balas Erwan. “Huruf itulah yang mengikat perbedaan para pelukis Batanghari Sembilan menjadi satu. Arti tulisan itu adalah Aura Musi.”
Saya menganggukan kepala, namun sedikit menyindir dengan jawabannya. “Dari mana kalian bisa menulis huruf itu?”
“Suharno, salah satu pelukis,” kata Erwan dengan senyum. “Dia menemui Rapanie Igama (peneliti aksara ka-ga-nga) untuk menuliskan ‘Aura Musi’.”
Saya terdiam, namun hati saya terus bicara kalau lukisan itu menerjemahkan suatu perbedaan yang kuat dan khas, disatukan dalam sebuah kanvas, dan terikat dalam satu bahasa. Yah, mengingatkan tentang Bhineka Tunggal Ika. Sebuah semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menyatukan sebuah keberagaman. Mengingkatkan tentang kebesaran kerajaan-kerajaan masa lalu, seperti Kerajaaan Sriwijaya dan Majapahit akan konsep pemerintahan yang kuat. Ditata dengan garis dan komposisi warna yang khas namun tidak melupakan estetika.
“Siapa-siapa pelukisnya ?” tanya saya kembali.
Erwan menghisap rokoknya yang banyak dihisap angin, kemudian berkata dengan sangat hati-hati, “Lukisan ini dibuat oleh sembilan pelukis Sumsel. Suharno Manaf, Usa Kishmada, D’Maah, Amrul Hiban, Rahman R. Hambour, Rudi Maryanto, Indra Kesuma, Heru Andriansyah, dan terakhir….Erwan Suryanegara.”
Erwan tertawa ngakak menyebut namanya sendiri. Saya pun ikut tertawa dengan tawa yang merah merona itu.
Padahal, walau tidak diceritakan, saya tahu, ada penandaan motif tumpal atau garis segitiga di sebelah kiri dan kanan di dalam lukisan itu dan saya yakin, sebelum bercerita, ada buah pikiran Erwan di sana.
***
Tahun 2010 lalu, sehabis penelitian ragam hias di Sumsel, Erwan pernah bercerita kepada saya bahwa dia menemukan sebuah motif tumpal yang muncul sekitar tahun 2000 SM, di sebuah Menhir di dusun Karang Dalam kabupaten Lahat, Sumsel.
“Ada kemungkinan, motif hias tumpal yang ada di situs Karang Dalam itu merupakan awal atau menjadi cikal bakal dari motif hias tumpal yang ada di nusantara,” kata Erwan pada waktu itu. “Kemudian, setelah masuknya pengaruh kebudayaan Hindu, Budha, Islam, dan Nasrani ke nusantara hingga sekarang, motif hias tumpal ini terus mengalami perkembangan. Perkembangan itu banyak dilihat dari penerapan pada bagian-bagian arsitektur, kain tenun, dan perabotan rumah tangga.”
***
Pembicaraan itu sudah hilang setahun lalu, mungkin terbang dibawa pemulung yang ingin terbang ke Amerika menemui Obama, namun gagal karena tak memiliki ongkos tiket pesawat, dan kembali lagi ditiup angin dan hinggap menjadi sebuah lukisan yang kini berada di hadapan saya dan Erwan.
“Kapan dan berapa lama proses pembuatan lukisan Batanghari Sembilan itu?” lanjut saya.
“Lukisan ini dibuat sehari setelah pembukaan pameran. Hanya satu jam, sekitar pukul sepuluh sampai sebelas pagi,” katanya sambil merapikan sedikit kacamata.
“Pertanyaan terakhir, lukisan itu menggunakan bahan apa?
“Cat akrilik di atas kanvas,” jawab Erwan.
Wawancara selesai. Sejam kemudian, Erwan mengajak saya dan pelukis Edy Fahyuni makan empek-empekmodel ikan di kantin Universitas IBA. Ketika menghirup cuka empek-empek, saya baru sadar bahwa lukisan Batanghari Sembilan itu tidak hanya pedas, tapi juga manis, asam, asin. Terlalu beragam rasanya untuk dikatakan. Ah, keberagaman, seringkali menjadi akar dari sebuah persoalan…. dan
***
Dari Hulu air batanghari mengalir meliuk bersama ke Hilir dengan arus dan riak keberagamannya yang tak seragam. Pun, aksara “Kaganga” tak berkehendak menyatusatukan, karenanya ia hanya menjadi pengikat kebersamaan dalam menjunjung tinggi keragaman yang justru menjadi potensi sesungguhnya, seperti yang dikandung bumi pertiwi di setiap jengkal kenusantaraan. (Erwan Suryanegara)
“Lukisan apa ini?” kata saya.
“Lukisan berjudul Batanghari Sembilan, ini merupakan simbol dari keberagaman nusantara,” kata penggagas lukisan, Erwan Suryanegara.
“Apa yang menariknya dari lukisan ini?”
Erwan membawa matanya menangkap lukisan itu.
“Kerja kreatif perupa biasanya sangat individualistik dan sulit untuk digabungkan, namun setelah melihat hasilnya ternyata bisa dilakukan. Yah, menariknya karena dalam proses pembuatannya dikerjakan bersama-sama. Inilah yang unik dari lukisan itu.”
“Yang berwarna kuning di tengah-tengah lukisan itu, saya tahu, itu huruf ka-ga-nga!”
“Iya, itu huruf ka-ga-nga,” balas Erwan. “Huruf itulah yang mengikat perbedaan para pelukis Batanghari Sembilan menjadi satu. Arti tulisan itu adalah Aura Musi.”
Saya menganggukan kepala, namun sedikit menyindir dengan jawabannya. “Dari mana kalian bisa menulis huruf itu?”
“Suharno, salah satu pelukis,” kata Erwan dengan senyum. “Dia menemui Rapanie Igama (peneliti aksara ka-ga-nga) untuk menuliskan ‘Aura Musi’.”
Saya terdiam, namun hati saya terus bicara kalau lukisan itu menerjemahkan suatu perbedaan yang kuat dan khas, disatukan dalam sebuah kanvas, dan terikat dalam satu bahasa. Yah, mengingatkan tentang Bhineka Tunggal Ika. Sebuah semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menyatukan sebuah keberagaman. Mengingkatkan tentang kebesaran kerajaan-kerajaan masa lalu, seperti Kerajaaan Sriwijaya dan Majapahit akan konsep pemerintahan yang kuat. Ditata dengan garis dan komposisi warna yang khas namun tidak melupakan estetika.
“Siapa-siapa pelukisnya ?” tanya saya kembali.
Erwan menghisap rokoknya yang banyak dihisap angin, kemudian berkata dengan sangat hati-hati, “Lukisan ini dibuat oleh sembilan pelukis Sumsel. Suharno Manaf, Usa Kishmada, D’Maah, Amrul Hiban, Rahman R. Hambour, Rudi Maryanto, Indra Kesuma, Heru Andriansyah, dan terakhir….Erwan Suryanegara.”
Erwan tertawa ngakak menyebut namanya sendiri. Saya pun ikut tertawa dengan tawa yang merah merona itu.
Padahal, walau tidak diceritakan, saya tahu, ada penandaan motif tumpal atau garis segitiga di sebelah kiri dan kanan di dalam lukisan itu dan saya yakin, sebelum bercerita, ada buah pikiran Erwan di sana.
***
Tahun 2010 lalu, sehabis penelitian ragam hias di Sumsel, Erwan pernah bercerita kepada saya bahwa dia menemukan sebuah motif tumpal yang muncul sekitar tahun 2000 SM, di sebuah Menhir di dusun Karang Dalam kabupaten Lahat, Sumsel.
“Ada kemungkinan, motif hias tumpal yang ada di situs Karang Dalam itu merupakan awal atau menjadi cikal bakal dari motif hias tumpal yang ada di nusantara,” kata Erwan pada waktu itu. “Kemudian, setelah masuknya pengaruh kebudayaan Hindu, Budha, Islam, dan Nasrani ke nusantara hingga sekarang, motif hias tumpal ini terus mengalami perkembangan. Perkembangan itu banyak dilihat dari penerapan pada bagian-bagian arsitektur, kain tenun, dan perabotan rumah tangga.”
***
Pembicaraan itu sudah hilang setahun lalu, mungkin terbang dibawa pemulung yang ingin terbang ke Amerika menemui Obama, namun gagal karena tak memiliki ongkos tiket pesawat, dan kembali lagi ditiup angin dan hinggap menjadi sebuah lukisan yang kini berada di hadapan saya dan Erwan.
“Kapan dan berapa lama proses pembuatan lukisan Batanghari Sembilan itu?” lanjut saya.
“Lukisan ini dibuat sehari setelah pembukaan pameran. Hanya satu jam, sekitar pukul sepuluh sampai sebelas pagi,” katanya sambil merapikan sedikit kacamata.
“Pertanyaan terakhir, lukisan itu menggunakan bahan apa?
“Cat akrilik di atas kanvas,” jawab Erwan.
Wawancara selesai. Sejam kemudian, Erwan mengajak saya dan pelukis Edy Fahyuni makan empek-empekmodel ikan di kantin Universitas IBA. Ketika menghirup cuka empek-empek, saya baru sadar bahwa lukisan Batanghari Sembilan itu tidak hanya pedas, tapi juga manis, asam, asin. Terlalu beragam rasanya untuk dikatakan. Ah, keberagaman, seringkali menjadi akar dari sebuah persoalan…. dan
***
Dari Hulu air batanghari mengalir meliuk bersama ke Hilir dengan arus dan riak keberagamannya yang tak seragam. Pun, aksara “Kaganga” tak berkehendak menyatusatukan, karenanya ia hanya menjadi pengikat kebersamaan dalam menjunjung tinggi keragaman yang justru menjadi potensi sesungguhnya, seperti yang dikandung bumi pertiwi di setiap jengkal kenusantaraan. (Erwan Suryanegara)
sumber :http://wahw33d.blogspot.com/2010/11/9-pelukis-melukis-di-satu-kanvas-inikah.html