Rabu, 03 November 2010

Merapi dan Kisah dari 16 Tahun Silam

VIVAnews -Jumirah menangis tersedu-sedu. Muntahan wedhus gembel Selasa 26 Oktober 2010, mempertemukannya dengan seorang penolong dari masa lalu, Sigit Agung Maryunus. Sigit adalah seorang relawan yang menyerahkan hidupnya pada banyak petaka.
Enam belas tahun silam, Gunung Merapi juga meletus dan memuntahkan awan panas alias wedhus gembel ke sejumlah wilayah di pelerengan gunung.
Muntahan Merapi itu berupa batu, dari ukuran besar hingga kecil yang bersatu dengan gas,  dan juga kerikil. Bentuknya tak teratur, bergumpal-gumpal putih dan dari jauh terlihat seperti dombal gimbal, yang oleh warga di pelerangan Merapi disebut wedhus gembel.
Tahun 1994 silam itu, Sigit dan sejumlah relawan sedang bertugas di Pos Palang Merah Indonesia (PMI) Ngepring. Membunuh kejenuhan, mereka berkemah di sekitar Kali Boyong. Kali itu adalah jalur si wedhus gembel jika Merapi meletus.
Sedang asyik di perkemahan, Sigit dan kawan-kawannya itu dikejutkan oleh sejumlah monyet yang berlarian dari arah gunung. Jumlahnya banyak. Para relawan itu tahu persis bahwa para monyet yang kabur  adalah isyarat petaka dari Merapi.
Sigit dan kawan-kawannya juga langsung melangkah seribu ke Pos Ngepring. Dari siaran televisi, mereka mengetahui bahwa aktivitas Merapi sedang tinggi-tingginya. Para relawan itu, sontak bergerak ke Turgo, sebuah kampung di pelerangan Merapi, yang begitu gampang dijangkau hembusan si wedhus.
Hari itu Turgo sedang menggelar hajatan besar. Pernikahan. Tapi si wedhus menyapu duluan. Rumah si sahibul hajat luluh lantak. Mayat bergelimpangan dalam kondisi menggenaskan.
Warga yang sempat menyelamatkan diri, terengah-engah berlari ke arah kota. Berebutan. Jumpalitan. Dua orang anak kecil jatuh bangun, lalu terinjak-injak orang dewasa. "Sehari sebelumnya, kami sempat bertemu dengan si pemilik rumah dan berjanji datang ke pesta," kisah Sigit.
Para relawan yang beradu dengan haru-biru itu sekuat tenaga menyelamatkan warga. Sigit lalu menyambar dua anak kecil itu. Mengendong mereka sembari berlari ke daerah aman. Meski terangah, Sigit sukses membawa kedua anak itu mengungsi.
Di tempat aman itulah Sigit tahu bahwa kedua bocah itu bernama Jumirah dan Ponirah. Sesudah itu mereka tidak pernah berjumpa lagi. Sigit dan sejumlah relawan melalang buana dari satu bencana ke bencana yang lain. Dua bocah itu tumbuh kembang di kampung Turgo.
Enam belas tahun sesudah itu, ketika si wedhus gembel kembali mengamuk 26 Oktober 2010, Selasa pekan lalu itu, Sigit dan sejumlah relawan kembali berjibaku di sekitar Merapi, menolong korban yang dilumat si wedhus. Dan Sigit teringat dua bocah itu.
Ketika memberi pengarahan kepada pengungsi, Minggu 31 Oktober 2010, di Purbowiangun, Sigit bertanya ke sana  ke mari soal dua anak itu. Seorang warga bernama Eko, yang mengaku kenal baik dengan Jumirah dan Ponirah, memberitahu bahwa keduanya sedang pulang ke Turgo menengok rumah.
Keesokan harinya, Senin 1 November Sigit kembali ke pengungsian itu. Mengambil gambar kondisi pengungsian yang menjadi rujukan penting kebijakan PMI. Ketika sedang mengambil gambar itu, sepasang suami-istri  dengan motor melaju dari arah Turgo.
Sang istri sejenak memperhatikan Sigit.  Sontak dia turun dari motor, berlari dan memeluk Sigit yang memiliki ciri khas, rambut gondrong dan kalung taring macan.  Tangis Jumirah pun pecah. Tak lama kemudian, Ponirah datang dan langsung menangis.
“Waktu itu kami masih kecil dan apabila Mas Sigit tidak menolong, pasti Anisa juga tidak mungkin lahir ." Jumirah lalu memandang  anaknya yang bernama Anisa dengan air mata terus mengalir.